Gelombang kontroversi inisiasi wajib militer bagi pelajar di jenjang pendidikan atas kembali mencuat, memicu perdebatan sengit mengenai urgensi dan dampaknya terhadap reformasi karakter bangsa. Wacana ini, yang bertujuan membentuk kedisiplinan dan rasa bela negara sejak dini, justru dihadapkan pada berbagai argumen kontra, mulai dari pelanggaran hak asasi anak hingga potensi traumatisasi psikologis. Masyarakat dan pakar pendidikan menyoroti kebijakan ini dari berbagai sudut pandang, mempertanyakan apakah ini merupakan solusi tepat untuk menciptakan generasi yang berintegritas.
Rencana inisiasi wajib militer ini pertama kali diusulkan oleh Kementerian Pertahanan pada awal tahun 2024, dengan target implementasi pada tahun ajaran 2025/2026. Menurut Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal Adi Suryanto, program ini dirancang sebagai kurikulum ekstrakurikuler wajib bagi siswa SMA dan sederajat. “Kami melihat adanya penurunan tingkat kedisiplinan dan semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Inisiasi wajib militer ini diharapkan dapat menjadi katalisator positif,” jelas Mayor Jenderal Adi dalam konferensi pers yang diadakan pada Selasa, 12 Maret 2024, di Gedung Juang ’45, Jakarta. Namun, wacana ini langsung menuai kritik tajam dari berbagai organisasi, termasuk Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, menyatakan keprihatinan mendalam atas wacana ini. “Program wajib militer, bahkan dalam skala inisiasi, dapat menimbulkan tekanan psikologis yang berat bagi remaja. Mereka masih dalam tahap perkembangan dan membutuhkan lingkungan yang mendukung, bukan tekanan militeristik,” tegas Arist saat diwawancarai pada Rabu, 20 Maret 2024, di kantor Komnas PA, Jakarta. Lebih lanjut, beberapa psikolog anak juga menyoroti potensi gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan dan stres pasca-trauma, jika program ini tidak dirancang dengan sangat hati-hati. Kontroversi inisiasi ini juga menyentuh aspek kesiapan infrastruktur dan tenaga pengajar. Banyak pihak meragukan kemampuan sekolah untuk mengintegrasikan pelatihan militer ke dalam kurikulum tanpa mengganggu fokus pada pendidikan akademik.
Di sisi lain, pendukung program ini berpendapat bahwa kedisiplinan militer dapat membentuk karakter yang kuat, tahan banting, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial. Mereka mengutip contoh negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan program serupa. Namun, perlu dicatat bahwa konteks sosial dan budaya di setiap negara berbeda, sehingga implementasinya harus disesuaikan. Sebaliknya, kontroversi inisiasi ini mengharuskan adanya kajian mendalam dan komprehensif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dialog terbuka dan partisipasi aktif dari masyarakat sipil, pakar pendidikan, psikolog, serta orang tua sangat dibutuhkan untuk mencari jalan tengah yang terbaik.
Pemerintah diharapkan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Alih-alih memaksakan program yang masih memicu kontroversi inisiasi ini, ada baiknya fokus pada reformasi kurikulum yang lebih holistik, yang menekankan pendidikan karakter, etika, dan nilai-nilai kebangsaan melalui pendekatan yang lebih humanis dan sesuai dengan perkembangan psikologi remaja. Dengan demikian, tujuan untuk membentuk generasi yang berkarakter kuat dan berintegritas dapat tercapai tanpa mengorbankan hak dan kesejahteraan psikologis pelajar.